loading...
CONTOH PENERAPAN METODE SAINTIFIK/ILMIAH
DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP/MTs
Berikut ini contoh dari lima pengalaman belajar
pokok peserta didik seperti yang tercantum dalam Lampiran IV: Pedoman Umum
Pembelajaran dari Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum, yaitu: mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi (mengeksplorasi, melakukan percobaan), mengolah
informasi (mengasosiasi,menganalisis, menyimpulkan) dan mengkomunikasikan hasil
pengolahan informasi dalam proses pembelajaran matematika di SMP/MTs.
1.
Mengamati
Pengalaman
belajar mengamati dapat dilakukan dengan cara membaca,
mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat). Dalam matematika, objek
matematika yang dipelajari peserta didik adalah buah pikiran manusia, sehingga
bersifat abstrak. Kegiatan mengamati
objek matematika dalam matematika dapat dikelompokkan dalam dua macam kegiatan
yang masing-masing mempunyai ciri berbeda, yaitu: (a) Mengamati fenomena dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan objek matematika
tertentu, (b) Mengamati objek matematika yang abstrak.
a.
Mengamati fenomena lingkungan kehidupan sehari-hari
yang berkaitan dengan topik matematika tertentu
Fenomena
adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat dijelaskan
serta dinilai secara ilmiah. Melakukan pengamatan terhadap fenomena dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari tepat
dilakukan ketika peserta didik belajar hal-hal yang terkait dengan topik-topik
matematika yang pembahasannya dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
secara langsung.
Fenomena
yang diamati akan menghasilkan pernyataan
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pernyataan
tersebut dituangkan dalam bahasa matematika atau menjadi pembuka dari
pembahasan objek matematika yang abstrak.
b.
Mengamati
objek matematika yang abstrak
Kegiatan
mengamati objek matematika yang abstrak sangat cocok untuk peserta didik yang
mulai menerima kebenaran logis. Peserta didik tidak mempermasalahkan kebenaran
pengetahuan yang diperoleh, walaupun tidak diawali dengan pengamatan terhadap fenomena. Kegiatan mengamati seperti ini lebih
tepat dikatakan sebagai kegiatan mengumpulkan dan memahami kebenaran objek
matematika yang abstrak. Hasil
pengamatan dapat berupa definisi, aksioma, postulat, teorema, sifat, grafik dan
lain sebagainya.
Pengalaman belajar mengamati ini
diharapkan dapat memfasilitasi peserta didik dalam mengembangkan dan melatih
kesungguhan, ketelitian, dan
kemampuan mencari informasi.
2. Menanya
Setelah terjadi proses mengamati, pengalaman belajar
peserta didik berikutnya yang difasilitasi guru adalah pengalaman belajar
menanya. Pengalaman belajar tersebut dimaknai sebagai menanya dan mempertanyakan
terhadap hal-hal yang diamati. Terjadinya kegiatan’menanya’ oleh peserta didik
dapat disebabkan oleh karena belum dipahaminya hal-hal yang diamati, atau dapat
pula karena ingin mendapatkan informasi tambahan tentang hal-hal yang diamati.
Agar proses menanya oleh peserta didik semakin hari
berjalan semakin lancar dan berkualitas, guru dapat memfasilitasi dengan
pancingan pertanyaan-pertanyaan yang berfungsi menggiring peserta didik untuk
mempertanyakan hal-hal yang diamati. Berhubung objek kajian matematika yang
dipelajari bersifat abstrak, sementara taraf berpikir peserta didik usia
SMP/MTs masih dalam taraf peralihan dari tingkat konkret menuju abstrak
(formal), maka hal itu menjadi penting demi memelihara terwujudnya proses
pembelajaran mengamati dan menanya yang berkualitas dan efektif.
Menurut Bell (1978), objek kajian matematika yang
dipelajari peserta didik selama belajar di SMP/MTs dapat berupa fakta
(matematika), konsep (pengertian pangkal, definisi), prinsip (teorema, rumus,
sifat), dan skill (algoritma/prosedur). Fakta, konsep, prinsip, skill tersebut adalah buah fikiran manusia, sehingga bersifat abstrak. Dalam mempelajari konsep atau prinsip
matematika yang tergolong sebagai pengetahuan, sebagaimana disampaikan oleh
Piaget (Wadsworth, 1984) sangat perlu dipertimbangkan tingkat berpikir peserta
didik SMP/MTs yang masih dalam peralihan
dari tingkat operasional konkret ke operasional formal. Proses pembelajaran
untuk memahami konsep dan prinsip matematika perlu dikelola dengan
langkah-langkah pedagogis yang tepat dan difasilitasi media tertentu agar buah
pikiran yang abstrak tersebut dapat dengan mudah dipahami peserta didik.
Langkah pedagogis dan penggunaan media tersebut menuntut peserta didik dan guru
terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang menggiring pemikiran peserta didik
secara bertahap, dari yang mudah (konkret) menuju ke yang lebih kompleks (abstrak)
sehingga akhirnya diharapkan pengetahuan mudah diperoleh oleh peserta didik
sendiri dengan bimbingan guru.
Dalam hal mempelajari keterampilan berprosedur
matematika, kecenderungan yang ada sekarang adalah peserta didik gagal
menyelesaikan suatu masalah matematika
jika konteksnya berbeda, walupun hanya sedikit perbedaannya. Ini terjadi karena
peserta didik cenderung menghafal algoritma atau prosedur tertentu. Pada diri peserta
didik tidak terbangun kreativitas dalam berprosedur. Kreativitas berprosedur dapat dibangkitkan
dari pemberian pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan
didesain agar peserta didik dapat berpikir tentang alternatif-alternatif jawaban atau
alternatif-alternatif cara berprosedur.
Dalam hal ini guru diharapkan agar menahan diri untuk tidak memberi tahu
jawaban pertanyaan. Apabila terjadi kendala dalam proses menjawab pertanyaan,
atau diprediksi terjadi kendala dalam menjawab pertanyaan, guru dapat
memberikan pertanyaan-pertanyaan secara bertahap yang mengarah pada diperolehnya
jawaban pertanyaan oleh peserta didik
sendiri. Di sinilah peran guru dalam memberikan scaffolding atau
‘pengungkit’ untuk memaksimalkan ZPD (Zone Proximal Development) yang
ada pada peserta didik (Chambers, 2007)
Adanya pertanyaan-pertanyaan yang tepat dari guru guna
membimbing dan menggiring peserta didik agar mampu menanya dan mempertanyakan
informasi-informasi yang terkait hal-hal yang diamati, diharapkan lama kelamaan
pada diri peserta didik akan berkembang dan terbangun sikap kritis, logis dan
kreatif. Kecuali itu, melalui pengalaman menanya dan memepertanyakan ini akan
semakin terasah kemampuan memformulasikan pertanyaan yang akan berdampak pada
terampilnya kemampuan merumuskan masalah.
3. Mengumpulkan informasi
Setelah terjadi proses menanya, pengalaman belajar
peserta didik berikutnya yang difasilitasi guru adalah pengalaman belajar
mengumpulkan informasi. Pengalaman belajar tersebut diperoleh antara lain
melalui kegiatan melakukan eksperimen, membaca sumber lain
selain buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas, melakukan wawancara
dengan nara sumber. Dari kegiatan mengumpulkan informasi ini data-data yang
selanjutnya siap diolah, dihubung-hubungkan antara data yang satu dengan yang
lainnya (diasosiasikan), dianalisis dan dinalar. Dari pengalaman belajar mengumpulkan
informasi ini diharapkan akan berkembang dan terbangun sikap teliti,
jujur,sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan
kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat pada diri peserta didik.
4. Mengolah informasi atau mengasosiasikan
Setelah mengalami proses mengamati, menanya, dan mengumpulkan
informasi maka pengalaman belajar pokok berikutnya adalah mengolah informasi
atau mengasosiasikan. Kegiatan mengolah informasi dimaknai sebagai mengolah
informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan
mengumpulkan informasi, sedangkan proses pengolahan informasi dapat terjadi dari
yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada yang
bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang
berbeda atau bahkan bertentangan.
Kegiatan mengolah informasi ini diharapkan dapat mefasilitasi
berkembang dan terbangunnya sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja
keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta
deduktif dalam menyimpulkan.
Dalam pengalaman belajar mengolah informasi ini
terdapat pengalaman mengasosiasikan data yang satu dengan data yang lain, dan
juga pengalaman menalar yang akan banyak digunakandalam kehidupan sehari-hari
atau dalam mempelajari mata pelajaran lain. Apakah yang dimaksud dengan proses
menalar atau penalaran? Secara
umum dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berfikir
yang logis dan sistematis atas fakta-fakta yang dapat diobservasi untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika,
pada umumnya proses menalar terjadi secara simultan dengan proses mengolah atau menganalisis informasi kemudian diikuti
dengan proses menyajikan atau mengkomunikasikan hasil penalaran sampai kemudian diperoleh suatu simpulan.
Ada dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan
penalaran deduktif. Penalaran
induktif
merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena khusus untuk
hal-hal yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak
berpijak pada hasil pengamatan inderawi atau pengalaman empirik. Penalaran
deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari
pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang
bersifat khusus. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal
yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya
yang khusus. Penalaran yang paling dikenal dalam matematika
terkait penarikan kesimpulan adalah modus ponen, modus tolen dan silogisme.
Sesuai
dengan tingkat berpikirnya, peserta
didik SD/MI dan SMP/MTs yang umumnya dalam tingkat berpikir operasional konkret
dan peralihan ke tingkat operasional formal, sehingga cara
memperoleh pengetahuan matematika pada diri
peserta didik SD/MI dan SMP/MTs banyak dilakukan dengan penalaran
induktif, sedangkan untuk peserta didik SMA/MA sudah mulai banyak dilakukan dengan penalaran deduktif.
5. Mengkomunikasikan
Setelah mengalami proses mengamati, menanya, mengumpulkan dan mengolah informasi
maka pengalaman belajar pokok berikutnya adalah mengkomunikasikan yang dimakanai sebagai kegiatan menyampaikan
hasil pengamatan, atau kesimpulan yang telah diperoleh berdasarkan hasil
analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
Kurikulum 2013 dilaksanakan antara lain guna
menyiapkan peserta didik agar eksis mengarungi hidupnya dalam abad 21 ini.
Salah satu ciri abad 21 adalah bahwa komunikasi dapat dilakukan dari dan ke
mana saja. Akibatnya, proses menyelesaikan suatu masalah dalam kehidupan di
abad 21 dapat dioptimalkan dengan memanfaatkan fasilitas komunikasi seperti
tersebut. Pengoptimalan tersebut dapat terjadi antara lain karena dalam era komunikasi
yang seperti itu, sinergi dan kolaborasi antar insan menjadi mudah terlaksana. Kata
kuncinya di sini adalah terjadinya sinergi dan kolabirasi. Mengingat hal itu
maka dalam memfasilitasi peserta didik dengan lima pengalaman belajar pokok
tersebut, guru perlu menciptakan pembelajaran yang kolaboratif antara guru dan peserta
didik atau antar peserta didik. Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu
filsafat personal, lebih dari sekadar melaksanakan
suatu teknik
pembelajaran kelompok di kelas.
Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang
menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang
secara baik dan disengaja sedemikian rupa untuk
memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama (Kemdikbud, 2013).
Dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, fungsi guru
lebih sebagai manajer belajar dan peserta didik aktif melaksanakan proses belajar.
Dalam
situasi pembelajaran kolaboratif antara guru dan peserta didik atau antar peserta
didik, diharapkan terjadi peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga pada diri peserta didik akan tumbuh rasa aman, yang selanjutnya akan memungkinkan peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
Dalam pembelajaran matematika di SMP/MTs, membentuk
jejaring dapat dilaksanakan dengan memberi
penugasan-penugasan belajar secara kolaboratif. Penugasan kolaboratif
dapat dilaksanakan pada proses mengamati, menanya, menalar atau mencoba. Selain
belajar mengasah sikap empati, saling menghargai dan menghormati perbedaan,
berbagi, dengan diterapkannya pembelajaran kolaboratif maka bahan belajar
matematika yang abstrak diharapkan menjadi lebih mudah dipahami peserta didik.
Berikut ini contoh-contoh proses pembelajaran
matematika berdasarkan Kurikulm 2013.
Topik: Mengidentifikasi Unsur-Unsur Bentuk Aljabar
Kompetensi Dasar: 3.3 Menyelesaikan
persamaan dan pertaksamaan linear satu variabel (Kelas VII)
Aljabar
pertama kali dikenal peserta didik di Kelas VII melalui belajar kompetensi
dasar “menyelesaikan persamaan dan
peritaksamaan linear satu variabel”. Sesuai dengan struktur materi
matematika yang hirarkis, untuk mempelajari kompetensi dasar tersebut terlebih
dahulu peserta didik harus belajar tentang mengidentifikasi unsur-unsur bentuk
Aljabar dan melakukan operasi bentuk Aljabar. Berikut ini contoh proses
pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik agar mampu mengidentifikasi
unsur-unsur bentuk Aljabar berdasarkan Kurikulum 2013.
1. Mengamati
Peserta didik mengamati fenomena-fenomena peristiwa
sehari-hari di lingkungan kehidupannya yang relevan dengan tujuan pembelajaran,
yaitu mengidentifikasi unsur-unsur bentuk Aljabar. Contoh fenomena-fenomena
tersebut sebagai berikut.
1.
Tahun
ini umur Dika dua kali umur Syauki, sedangkan umur Santi 1 tahun lebih tua dari
umumr Dika. Berapakah kemungkinan umur Dika, Syauki, dan Santi sekarang?
2. Banyaknya pohon jati
milik Pak Makmur 10 batang kurangnya dari
banyak pohon jati milik Pak Budi.
Berapakah kemungkinan pohon
milik Pak Makmur dan Pak Budi masing-masing?
3.
Bu Siti dan Bu Nur masing-masing memiliki warung makan.
Setiap hari, banyak telur yang dihabiskan oleh warung makan Bu Siti 100 butir
lebihnya dari banyak telur yang dihabiskan warung makan Bu Nur. Berapakah kemungkinan
banyak telur yang dihabiskan oleh warung makan Bu Siti dan Bu Nur
masing-masing?
2.
Menanya
Setelah mengamati fenomena-fenomena tersebut, selanjutnya
peserta didik didorong untuk bertanya atau merumuskan permasalahan (pertanyaan)
yang relevan dengan fenomena yang diamati. Pada awalnya, guru dapat memancing
dengan pertanyaan-pertanyaan yang terarah mengacu tujuan pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut berfungsi sebagai penuntun, misalnya sebagai penuntun dalam memahami
makna dari variabel. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan tersebut dinamai
sebagai pertanyaan penuntun. Pertanyaan penuntun disusun dari yang mudah ke
yang sulit dan muatannya relevan dengan fenomena yang diamati dan jawabannya dapat memfasilitasi peserta didik
agar mudah dalam memperoleh pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Pertanyaan-pertanyaan penuntun
seperti itu diharapkan dapat menumbuhkan keingintahuan peserta didik dan
mendorong munculnya pertanyaan-pertanyan dari diri peserta didik.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru juga dapat melatih tumbuhnya sikap
kritis dan logis. Berikut ini contoh pertanyaan penuntun terkait fenomena umur
kakak-adik yang dapat diajukan oleh guru.
Permasalahan
|
Pertanyaan
Penuntun
|
Tahun ini umur Dika dua kali umur Syauki, sedangkan umur Santi
satu tahun lebih tua dari Dika. Berapakah kemungkinan umur Dika, Syauki, dan Santi sekarang?
|
· Jika umur Syauki 1 tahun, berapakah umur Dika dan Santi?
· Jika umur Dika 10 tahun, berapakah umur Syauki dan Santi?
· Jika umur Santi 15 tahun, berapakah umur Dika dan Syauki?
· Misalkan simbol b
mewakili bilangan umur Syauki. Apakah b
dapat mewakili bilangan 1, 2, 5, 10, 20, 30?
· Apakah b dapat mewakili
bilangan sebarang? Apakah b dapat mewakili bilangan 150?
Jelaskan alasan jawabanmu.
· Himpunan bilangan apakah yang anggota-anggotanya diwakili oleh b?
|
Pertanyaan: ”Misalkan simbol b mewakili umur Syauki. Apakah b dapat mewakili sebarang bilangan?“ diharapkan dapat memancing munculnya
pertanyaan dari peserta didik kepada guru, antar peserta didik atau diri
sendiri peserta didik yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap kritis dan
logis. Kemungkinan pertanyaan yang dapat timbul pada diri peserta didik
antara lain: “Apakah boleh umur Syauki
diwakili dengan simbol selain b? Apakah boleh simbol tersebut menggunakan
huruf besar? Apakah b dapat mewakili bilangan negatif? Apakah b dapat mewakili
bilangan pecahan? Apakah b dapat mewakili bilangan 200?” dll.
|
3.
Mengumpulkan informasi
Setelah melalui proses menagamati dan menanya, selanjutnya peserta
didik difasilitasi untuk mengumpulkan informasi. Dalam hal ini peserta didik
diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan fenomena peristiwa
sehari-hari yang telah diamati. Berikut ini contoh
format untuk menjawab pertanyaan penuntun terkait fenomena umur kakak-adik yang
telah diamati.
No
|
Permasalahan
|
Pertanyaan Penuntun
|
Umur Syauki
(tahun)
|
Umur Dika
(tahun)
|
Umur Santi
(tahun)
|
3
|
Tahun ini umur Dika dua kali umur Syauki, sedangkan umur Santi 1
tahun lebih tua dari Dika. Berapakah kemungkinan umur Dika, Syauki, dan Santi sekarang?
|
a. Jika umur Syauki 1 tahun, berapa umur Dika dan Santi?
|
1
|
…
|
…
|
b. Jika umur Dika 7 tahun, berapa umur Syauki dan Santi?
|
…
|
7
|
…
|
||
c. Jika umur Santi 11 tahun, berapa umur Dika dan Syauki?
|
…
|
…
|
11
|
||
1. Simbol U mewakili bilangan umur
Syauki, apakah U dapat diganti atau
mewakili bilangan 1,
5, 10, 12, 15?
2. Simbol y mewakili bilangan umur Dika, apakah y dapat diganti atau mewakili
bilangan 7, 10, 18, 21?
3. Simbol n mewakili bilangan umur Santi, apakah n dapat diganti atau mewakili
bilangan 4, 8, 11, 20, 26?
4.Apakah U atau y atau n dapat mewakili sebarang
bilangan?
5. Apakah U, y, dan n masing-masing dapat mewakili oleh bilangan 150? Jelaskan alasan jawabanmu
6.Bilangan
apakah yang diwakili oleh U atau y atau n?
7. Himpunan bilangan apakah yang anggota-anggotanya adalah
bilangan-bilangan yang diwakili oleh U atau
y atau n?
|
|
4.
Mengolah informasi
Proses mengolah informasi
dilakukan dengan menghubung-hubungkan informasi-informasi yang diperoleh,
kemudian melakukan analisis dan penalaran. Adapun penalaran yang dilakukan
bersifat induktif berdasarkan informasi dari tiga macam fenomena peristiwa
sehari-hari yang diamati. Dengan menghubung-hubungkan jawaban-jawaban
dari pertanyaan penuntun, kemudian menganalisis dan menalarnya diharapkan peserta didik menjadi peka terhadap
simbol-simbol huruf yang digunakan untuk mewakili bilangan. Kepekaan tersebut
sangat penting dalam mengantarkan peserta didik memahami makna dari unsur-unsur
bentuk Aljabar.
5.
Mengkomunikasikan
Sebelumnya peserta
didik belum pernah mengenal tentang bentuk Aljabar dan unsur-unsurnya
(variabel, konstanta, koefisien, suku).
Oleh karena itu pengetahuan tentang nama dan makna dari unsur-unsur
bentuk Aljabar diperoleh peserta didik dari konfirmasi atau umpan balik guru.
Umpan balik dan konfirmasi dari guru diberikan setelah peserta didik mencoba
menjelaskan atau mengkomunikasikan pengertian atau makna dari unsur-unsur
bentuk aljabar, khususnya terkait makna dari variabel, dengan bahasa mereka
sendiri. Komunikasi peserta didik tersebut didasarkan pada hasil
pengamatannya, proses menanya, informasi
yang dikumpulkannya, dan hasil mengolah informasi.
Dalam hal ini walaupun
akhirnya pengetahuan diperoleh dari umpan balik dan konfirmasi guru, namun pemerolehannya
telah didasarkan pada proses mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi dan mengolah informasi, bukan karena didoktrin
oleh guru.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, F.H. 1978. Teaching and Learning
Mathematics. Iowa:WBC
Chambers, Paul.
2007. Teaching Mathematics: Developing as
A Reflective Secondary Teacher, Thousand Oaks, CA: Sage Publication Inc.
Permendikbud Nomor
81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013. Lampiaran –IV: Panduan Umum Pembelajaran. Jakarta :Kemdikbud
Wadsworth, Barry
J., 1984. Piaget’s Theory of Cognitive
and Affective Development (3rd edition). NY: Longman Inc.
loading...
No comments:
Post a Comment